Selasa, 22 Januari 2019

Haji, Implementasi Cinta



Judul               : Mosaic of Haramain
                          (A-Z Catatan Inspiratif Perjalanan Haji)
Penulis             : Etyastari Soeharto
Penerbit           : bookLets
Tahun terbit     : Cetakan I, 2018
Tebal               : 310 halaman

Perjalanan ibadah haji selalu memberikan pengalaman tak terlupakan bagi yang menjalankan, namun tidak banyak yang kemudian menuliskan pengalaman tersebut. Etyastari Soeharto memutuskan untuk menulis perjalanan haji-nya, dengan tujuan untuk berbagi kisah inspiratif.
Penulis terpanggil untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 2011, saat  mengurus rencana umrah. Berbagai ‘kebetulan’ menggerakkan hatinya untuk mantap mendaftar haji sekalian. Sempat dilanda perang batin, terutama karena suara-suara nyinyir di sekitarnya. Haji itu nanti saja, pikirin nikah dulu (hal 7). Mending duitnya buat nikah. Ngapain pergi haji sendirian, nanti saja sama suami. Ya, dirinya memang masih jomlo saat itu. Tapi apakah itu menjadi penghalang? Bagaimana kalau sudah menunggu lama, jodoh tak jua datang, sementara kesempatan berhaji tidak mudah didapatkan? Dengan mengucap bismillah, akhirnya penulis memutuskan daftar haji, dan mendapat porsi untuk berangkat tahun 2017.
Uang sering menjadi alasan menunda berhaji. Penulis berbagi pengalaman bahwa niat yang kuat, sudah lebih dari cukup. Yang lain serahkan Allah saja. Saat itu  penulis harus melunasi biaya haji dalam jangka waktu tiga minggu dan sedang tidak punya uang. Waktu pelunasan semakin dekat. Terpikir untuk menagih piutang, hasilnya nihil. Akhirnya hanya dapat pasrah kepada Allah, lalu ada yang kirim pesan: Aku transfer 11 juta untuk pelunasan (hal 23). Ada juga: Et, nggak usah beli perlengkapan haji, pakai saja punyaku. Allah memudahkan.
Perjalanan penulis saat beribadah haji tak selamanya mulus. Selain sempat sakit sekitar satu minggu, ada peristiwa semacam teguran yang dialaminya. Kejadiannya saat penulis mengunjungi masjid Nabawi (hal 129), muncul keinginan merekam perjalanan haji dalam bentuk reportase. Mulailah ia melakukan syuting dengan kamera HP. Tiba-tiba HP mati. Saat  mencoba menyalakan rekaman video, yang muncul gambar-gambar tak jelas dan suara tak beraturan. Penulis langsung gemetar, lemas, dan mengucap istighfar. Kejadian itu sempat membuat penulis merenungi kembali niat beribadah. Mungkin, seharusnya lebih banyak shalawat dan doa ia langitkan untuk Rasulullah, bukannya melakukan hal lain.
Masih banyak kisah-kisah inspiratif dalam buku, termasuk kisah heroik dua jejaka bersaudara yang selalu membantu jamaah lainnya. Awalnya, Fajar dan Feri mendaftar haji berempat dengan kedua orangtua mereka (hal 189). Pada masa menunggu, di tahun keempat sang ayah meninggal. Dan setelah sempat manasik bersama kedua putranya, sang ibu wafat. Alasan itulah antara lain yang mendasari Fajar dan Feri ringan tangan menjalankan ibadah (berbuat baik) di dalam ibadah (haji).
“Semua amal kami, semoga menjadi pelancar jalan kedua orangtua kami di akhirat.”
Di tanah suci, cinta yang sejati juga menemukan jati diri. Ketika seorang bapak tegas menolak beli makanan bersama jamaah lain dalam satu kloter. Alasannya? Makanan untuk istrinya harus bebas MSG dan dari bahan terbaik. Kenapa demikian? Karena seminggu sebelum berhaji, sang istri baru selesai menjalani kemoterapi. Dan sang suamilah, yang memasak dengan penuh cinta agar mereka berdua sehat dan kuat selama menjalankan aktivitas haji.
Demikianlah, berhaji adalah implementasi cinta kasih. Cinta kepada Rabb. Cinta kepada Rasulullah. Cinta kepada sesama.