Judul :
Mosaic of Haramain
(A-Z Catatan Inspiratif Perjalanan Haji)
Penulis :
Etyastari Soeharto
Penerbit :
bookLets
Tahun terbit :
Cetakan I, 2018
Tebal :
310 halaman
Perjalanan ibadah haji
selalu memberikan pengalaman tak terlupakan bagi yang menjalankan, namun tidak
banyak yang kemudian menuliskan pengalaman tersebut. Etyastari Soeharto
memutuskan untuk menulis perjalanan haji-nya, dengan tujuan untuk berbagi kisah
inspiratif.
Penulis terpanggil untuk
melaksanakan ibadah haji pada tahun 2011, saat
mengurus rencana umrah. Berbagai ‘kebetulan’ menggerakkan hatinya untuk
mantap mendaftar haji sekalian. Sempat dilanda perang batin, terutama karena
suara-suara nyinyir di sekitarnya. Haji
itu nanti saja, pikirin nikah dulu (hal 7). Mending duitnya buat nikah. Ngapain pergi haji sendirian, nanti saja
sama suami. Ya, dirinya memang masih jomlo saat itu. Tapi apakah itu
menjadi penghalang? Bagaimana kalau sudah menunggu lama, jodoh tak jua datang,
sementara kesempatan berhaji tidak mudah didapatkan? Dengan mengucap bismillah,
akhirnya penulis memutuskan daftar haji, dan mendapat porsi untuk berangkat
tahun 2017.
Uang sering menjadi
alasan menunda berhaji. Penulis berbagi pengalaman bahwa niat yang kuat, sudah
lebih dari cukup. Yang lain serahkan Allah saja. Saat itu penulis harus melunasi biaya haji dalam
jangka waktu tiga minggu dan sedang tidak punya uang. Waktu pelunasan semakin
dekat. Terpikir untuk menagih piutang, hasilnya nihil. Akhirnya hanya dapat pasrah
kepada Allah, lalu ada yang kirim pesan: Aku
transfer 11 juta untuk pelunasan (hal 23). Ada juga: Et, nggak usah beli perlengkapan haji, pakai saja punyaku. Allah
memudahkan.
Perjalanan penulis saat
beribadah haji tak selamanya mulus. Selain sempat sakit sekitar satu minggu,
ada peristiwa semacam teguran yang dialaminya. Kejadiannya saat penulis
mengunjungi masjid Nabawi (hal 129), muncul keinginan merekam perjalanan haji
dalam bentuk reportase. Mulailah ia melakukan syuting dengan kamera HP. Tiba-tiba
HP mati. Saat mencoba menyalakan rekaman
video, yang muncul gambar-gambar tak jelas dan suara tak beraturan. Penulis langsung
gemetar, lemas, dan mengucap istighfar. Kejadian itu sempat membuat penulis
merenungi kembali niat beribadah. Mungkin, seharusnya lebih banyak shalawat dan
doa ia langitkan untuk Rasulullah, bukannya melakukan hal lain.
Masih banyak
kisah-kisah inspiratif dalam buku, termasuk kisah heroik dua jejaka bersaudara yang
selalu membantu jamaah lainnya. Awalnya, Fajar dan Feri mendaftar haji berempat
dengan kedua orangtua mereka (hal 189). Pada masa menunggu, di tahun keempat sang
ayah meninggal. Dan setelah sempat manasik bersama kedua putranya, sang ibu wafat.
Alasan itulah antara lain yang mendasari Fajar dan Feri ringan tangan
menjalankan ibadah (berbuat baik) di dalam ibadah (haji).
“Semua amal kami,
semoga menjadi pelancar jalan kedua orangtua kami di akhirat.”
Di tanah suci, cinta
yang sejati juga menemukan jati diri. Ketika seorang bapak tegas menolak beli
makanan bersama jamaah lain dalam satu kloter. Alasannya? Makanan untuk
istrinya harus bebas MSG dan dari bahan terbaik. Kenapa demikian? Karena
seminggu sebelum berhaji, sang istri baru selesai menjalani kemoterapi. Dan
sang suamilah, yang memasak dengan penuh cinta agar mereka berdua sehat dan
kuat selama menjalankan aktivitas haji.
Demikianlah, berhaji
adalah implementasi cinta kasih. Cinta kepada Rabb. Cinta kepada Rasulullah.
Cinta kepada sesama.